Jumat, 19 Maret 2010

BUKU REVIEW PAJAK ORANG PRIBADI DAN ORANG ASING


 Penerbit: PT. SALEMBA EMPAT, Maret 2010
 Penulis adalah cucu Patuan Dolok III Raja Panusunan Tamiang Terakhir, antara lain:
1. Drs. Ardiansyah Lubis Gelar Raja Dolok Angkasa (PT. Arun LNG)
2. Irwansyah Lubis, SE.,.M.Si Gelar Raja Dolok Pardomuan
    (PNS DEPKEU RI)

BUKU WISATA MANDAILING, NATAL, TAPANULI SELATAN DAN PADANG LAWAS


Penerbit: YPPSDM JAKARTA, Maret 2010.
Penulis adalah cucu Patuan Dolok III Raja Panusunan Tamiang Terakhir: Irwansyah lubis, SE.,M.Si Gelar Raja Dolok Pardomuan (PNS DEPKEU RI )

Rabu, 10 Maret 2010

SUTI NASUTION GELAR NA DUMA I

Suti Nasution Gelar Na Duma I,  Istri Patuan Dolok III
Komplek Perumahan PT. Pertamina Rantau Kuala Simpang Aceh Timur



Suti Nasution Gelar Na Duma I,  Istri Patuan Dolok III
Perumahan Kejaksaan Di Meulaboh Aceh Barat



Horja Mambulungi  Suti Nasution Gelar Na Duma I,  Istri Patuan Dolok III di STM Kampung Baru Jalan Suka Jaya No 14 di Bagas Sutan Guru. Dan Tampak gambar baju kuning Pem Samudra Gelar Mangaraja Dolok


Syarat Horja Mambulungi dengan memotong kerbau (horbo)

Ziarah Makam Suti Nasution Gelar Na Duma I, Tamiang, Sept 2009





Makam Suti Nasution Gelar Na Duma I, Istri Patuan Dolok III, Sept 2009
Sebelum meninggal, berpesan: diMakamkan di Tamiang (Kampung suaminya).



MENGHADAPI KEBURUKAN DENGAN KEBAIKAN
MENGHADAPI SEGALA COBAAN DENGAN KETENANGAN JIWA
MENGHADAPI RINTANGAN DAN GANGGUAN DENGAN PEMBERIAN MAAF DAN DOA 

Jumat, 05 Maret 2010

KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) BUDAYA MANDAILING

Nilai-Nilai (local genius) Kebudayaan Mandailing yang mulia:
  1. Nilai Keagamaan, yaitu agama Islam.yang taat.
  2. Nilai Keseimbangan/keselarasan.
Keselarasan hubungan antar manusia dengan tuhan,  manusia dengan lingkungan dan manusia dengan sesamanya. Suatu pandangan bahwa setiap perbuatan pasti mendatangkan hasil tertentu. Perbuatan baik akan membawa hasil yang baik, sedangkan perbuatan buruk  membuahkan hasil yangb buruk pula.
  1. Nilai Solidaritas/Kebersamaan
Penekanan pada kebersaman dan kerja sama antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok
  1. Nilai Kebenaran.
  2. Nilai Estetika.
  3. Nilai Etos Kerja/Gotong Royong
  4. Nilai Keterikatan.
  5. Nilai Materi (ekonomi).
  6. Nilai Keterbukaan dan Dinamika.
  7. Nilai Kemanusian.
Nilai-nilai kearifan local (local genius) pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan local itulah membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik local seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi pencipta-pencipta baru, missal dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
Local genius dimaknai sebagai ciri ataupun unsur-unsur tradisional yang mampu untuk dipertahankan dari adanya segala pengaruh unsur budaya luar dan bagaimana kita mengintegrasikan unsur budaya tersebut dalam pengembangan sikap dan kepribadian masyarakat yang menjadi keunggulan local dalam persaingan dunia yang mengglobal ini.
Kearifan local dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan local pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi.

Menurut beberapa pendapat penelitian adat Mandailing, mengatakan ada tujuh (7) macam inti nilai-nilai leluhur (kearifan local)  budaya suku Mandailing, antara lain :
  1. Kekerabatan.
Nilai inti kekerabatan masyarakat Mandailing utamanya terwujud dalam pelaksanaan Dalihan Na Tolu (DNT), dimana hubungan kekerabatan ini terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah maupun pertalian perkawinan.
  1. Agama Islam.
  2. Hagabeon (keturunan).
Nilai budaya Hagabeon bermakna harapan panjang umur, banyak keturunan, rezeki, beraklak baiak dan berpendidikan.
  1. Hamoraan (kehormatan).
Hamoraan (kehormatan) menurut adat Batak adalah terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang (tujuan hidup didunia dan diakhirat keduanya tercapai).
  1. Uhum dan Ugari.
  2. Pengayoman.
Pngayoman (perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat dan tugas pengayom ini utamanya berada dipihak mora dan yang diayomi adalah pihak anak boru.
  1. Marsisarian.
        Marsisarian adalah saling memahami, menghormati, 
        menghargai,dan saling membantu satu dengan yang lain.

Menurut pendapat Balyani Lubis,SH Gelar Sutan Panusunan,  dimana sumber hukum adat Mandailing yang bersumber dari Tumbaga Holing (bacaan dari orang yang punya hati (roha) dan tidak tertulis. 
Dari Tumbaga Holing dilahirkan ketentuan-ketentuan adat yang terdiri dari:
·         Patik.
Patik seperti UUD.
Nilai-nilai leluhur Holong dan Domu dari pemangku adat.
·         Uhum.
Uhum seperti aturan pelaksana dari Patik.
·         Ugari.
Ugari dapat timbul bilamana di dalam Patik dan di dalam Uhum tidak ada diatur, maka diatur dalam Ugari, seperti: perkawinan semarga, perkawinan lari
·         Hapantunan.
Hapantunan adalah tata cara berbicara dan sopan santun.

Seperti: Santabi sepuluh noli santabi pasobolaskkon majunjung, maknanya adalah: hormat sepuluh kali hormat dan sebelas kali kepala.

ASAL KAMPUNG TAMIANG- MANDAILING

Kampung Tamiang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1500 M, dimana telah memberi kontribusi berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Kampung Tamiang merupakan kesatuan masyarakat adat yang sangat berperan besar dalam bidang agama, sosial kultur, budaya, tradisi sehingga perlu di pertahankan
Fungsi kampung adat adalah:
v  Membantu pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan
v  Melaksanakan adat-istiadat dalam kampung adatnya.
v  Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Mandailing dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Mandailing pada khususnya berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
v  Menjaga, membina, menggali, memelihara dan memanfaatkan potensi budaya, nilai-nilai leluhur, tradisi kampung adat  untuk kesejahteraan masyarakat kampung adat tersebut.
v  Dokumentasi data kebudayaan serta memberi penerangan berbagai aspek kebudayaan.
v  Memperkokoh kehidupan sosial budaya Mandailing guna menghindari punahnya identitas masyarakat mandailing yang tengah bergelut menghadapi arus modernisasi.
Leluhur Baitang yang merupakan Bapak pelopor mendirikan Nagari kerajaan Adat Tradisional Tamiang. Arti nagari adalah kesatuan masyarakat dan wilayah tempat hidup sejak nenek moyang. Dimana batas dua nagari diatur dengan memanfaatkan batas alam seperti: sungai, bukit sebagai pemisah. Khusus pada dataran, pembagian tanah didasarkan pada orang yang lebih dulu menguasai tanah itu. Kalau Baitang adalah pendiri pemukiman yang pertama, maka tanah yang dikuasai itu menjadi tanah ulayat nagari Kerajaan Adat Tradisional Tamiang.
Arti Tamiang dalam Bahasa Hindu Bali   adalah Perisai atau Tameng. Dalam teks syair ke-13 Negara Kertagama menyebut nama Tumihang, dimana secara persamaan kata merupakan awal nama Tamiang yang ada di Mandailing, yaitu: Ibu Kampung Tamiang dan juga ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu:  Kabupaten Aceh Tamiang.
Suku Mandailing berdiam di pedalaman pantai barat Sumatra, dimana kontur alamnya merupakan kemiringan perbukitan gunung-gunung bukit barisan dengan  sedikit dataran rendah untuk persawahan dekat sungai batang gadis dan pemukiman penduduknya diapit diantara pegunungan bukit barisan, dataran rendah dan sungai batang gadis. Penghasilan alam masyarakat Mandailing berasal dari: sawah (petani), getah karet, kulit kayu manis, kopi, kelapa,  emas (baik mendulang di sungai batang gadis maupun secara menambang emas, budidaya ikan di sungai, bertanam palawija (jagung, kacang, dan lain lain).
Pada zaman Belanda, Kabupaten  Tapanuli Selatan disebut dengan Afdeeling Padangsidimpuan   yang dikepalai  oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padangsidimpuan.
Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga (3) onder afdeeling, masing-masing dikepalai oleh Conteleur yang dibantu oleh Demang, yaitu:
1.      Angkola Sipirok, berkedudukan di Padangsidimpuan .
2.      Padang Lawas, berdudukan di Sibuhuan.
3.      Mandailing dan Natal, berkedudukan di Kotanopan.
Pada masa kolonial Belanda, Kotanopan merupakan tempat kedudukan controleur Belanda dan merupakan pusat pendidikan di kawasan Mandailing Julu. Dan di Kotanopan itu lah pasukan militer belanda membangun benteng pertahanan pertama kali ketika mereka mulai menduduki Mandailing pada awal tahun 1830-an. Tapi bangunan Benteng Belanda tersebut itu sudah lama diruntuhkan dan tak ada sisinya lagi.

Dalam catatan sejarah Perang Paderi, pada tanggal 29 November tahun 1833, pasukan Belanda yang melarikan diri dari Rao meninggalkan Limau Manis menuju  kerajaaan  Adat Tradisional Lubis Tamiang Mandailing, Dimana pasukan Belanda tiba di Tamiang Mandailing pada tanggal 2 Desember 1833 (Radjab, 1964:297).

ASAL KATA MANDAILING

Kata Mandailing dapat dieja antara lain: Mengdelling, Mandahiling, Mendeheleng, Mandheling, Mandiling, Mandaling, Mendeleng. Di lihat dari segi sejarah masyarakat Mandailing melihat jati dirinya sebagai kelompok bangsa atau suku yang berbeda dari suku Batak Di Indonesia  maupun suku Melayu di Malaysia dan Indonesia. Keberadaan suku Mandailing secara hipotesis lebih dahulu ada dari pada suku batak di pulau  Samosir dan belum ada kitab atau buku atau literature tentang asal mulanya nama batak itu sendiri dan tidak diketahui secara pasti asal-usulnya.
Asal mulanya nama Mandailing dapat diketahui dalam sejarah Hindu Majapahit, dimana suku  Mandailing sudah ada dengan di sebut nama Mandailing dalam puluh atau Syair ke-13 Kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14), mengemukakan bahwa “teks syair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagai berikut :
“ Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni
Ri melayu/ning Jambi mwang Palembang I Teba
Le Darmmacraya tumut/Kandis, Kahwas Managkabwa
Ri Siyak I Rekan Kampar Mwang Pane/
Kampe Haru Athawa Mandahiling i Tumihang perlak
Mwang I Barat//”
Teks tersebut menceritakan Bangsa Asing India/Indochina dengan agama Hindu tersebar  dari Malaya (Sumatra) dari Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru, Mandahiling dan Majapahit.

 
Jadi nama Mandailing ada dalam Kitab Nagarakertagama menceritakan sejarah  bangsa asing dari India/Indochina membawah agama hindu, budaya, peradapan, teknologi, sistem pemerintahan berbaur dengan masyarakat asli setempat membentuk suatu bangsa, masyarakat, suku, etnik, budaya, peradapan  baru sesuai dengan kultur masing-masing daerah tersebut sekitar 1030M sampai dengan  1365 M khususnya kerajaan Hindu di Padang Lawas.
Dari 1365 M sampai dengan lima (5) abad lebih kedepan (Kerajaan Hindu Padang Lawas/ Mandailing  belum ada di ketemukan catatan sejarah tentang perkembangan peradapan, budaya, agama etnik Mandailing. Baru pada abad ke-19 sejarah Mandailing mencuat kembali:
v  Pada masa Perang Paderi dari Sumatra Barat (1818-1833) selama 17 tahun, dimana masyarakat Mandailing dulunya memuja arwah nenek moyang  menjadi menganut   agama Islam  yang taat.
v  Pada masa penjajahan kolonial Belanda antara tahun (1835-1942) menguasai tanah Mandailing selama 107 tahun juga membawah perubahan pendidikan, teknologi, belasting, rodi, tanaman paksa. Pada zaman penjajahan Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai orang Batak dan Penjajah Inggris melabelkan orang Mandailing sebagai “foreign malays” (Melayu Dagang) ( Abdul Razzaq Lubis, Identitas / Jati Diri).
v  Kemudian disusul ke masa pendudukan Jepang antara tahun (1942-1945) selama 3 tahun membuat suku Mandailing makin menderita amat sangat.


Kamis, 04 Maret 2010

BAGAS TAMIANG

 
Rumah pusaka  milik bersama dari peninggalan Patuan Dolok ke-3(leluhur marga lubis sebelumnya)  dan Sisa-sisa dari peninggalan Kerajaan Tamiang Mandailing yang dulunya tempat Tobat (kolam-kolam ikan). Yang sekarang ditinggalin  keluarga almarhum Sungkot Lubis gelar Sutan Guru Panusunan.  Diphoto oleh M. Dolok Lubis ST.,MSc.

  
Rumah pusaka  milik bersama dari peninggalan Patuan Dolok ke-3 dan Sisa-sisa dari peninggalan Kerajaan Tamiang Mandailing yang dulunya tempat Tobat (kolam-kolam ikan). Yang sekarang ditinggalin  keluarga almarhum Sungkot Lubis Gelar Sutan Guru Panusunan.  Diphoto oleh M. Dolok Lubis ST.,MSc.

 

Rumah pusaka  milik bersama dari peninggalan Patuan Dolok ke-3
 
Mulkan Harahap, Rajasyah Lubis Gelar Sutan Rajasyah,, Martua Lubis Gelar  Raja Dolok Martua, Rahmansyah Lubis Gelar Sutan Guru, di Tamiang, pada  pagi hari  santai menjelang  upacara adat mambulungi Patuan Dolok II dan,  diphoto oleh M. Dolok Lubis ST.,MSc

  
M. Dolok Lubis ST.,MSc, Syahwan Lubis


  
M. Dolok Lubis ST.,MSc, Rohila Lubis Gelar Boru Patuan

  
 Tamaing


Bagas Demang T.B. Mangaraja Parlindungan 


 Bagas Raja Dolok Martua Lubis, Tamiang