Selasa, 23 Februari 2010

PARTUTURAN (TUTUR SAPA) DI MASYARAKAT MANDAILING

Bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Bahasa Mandailing merupakan identitas orang Mandailing yang dipelihara dan dikembangkan sebagai pengemban kebudayaan dan tata kemasyarakatan Mandailing. Asal bahasa Mandailing merupakan perkembangan dari Proto- Malayo-Polinesia yang selanjutnya diklasififikasikan ke dalam sub kelompok Malayo Polinesia Barat (Western Malayo-Polynesia) menurut Robert Blust.
  
Fungsi bahasa Mandailing menurut penulis  adalah:
v  Melambangkan kebanggaan dan identitas daerah serta masyarakat penutur dan pendukung bahasa Mandailing.
v  Merupakan alat ekspresi dan komunikasi keluarga.
v  Sebagai media dari kebudayaan daerah Mandailing dan Agama Islam.
v  Sebagai bahasa dan aksara yang digunakan dalam desa adat dan lembaga adat.
v  Sebagai bahasa yang dapat memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia yang saling menunjang dan menghidupi satu dengan yang lainnya.
v  Mengungkapkan budaya dan unsur kreativitas masyarakat penutur serta pendukungnya.
v  Merupakan muatan lokal untuk pendidikan sekolah seperti: SD, SMP, dll.
Dalam kehidupan berkomunikasi sehari-hari di dalam masyarakat Mandailing rasa kekeluargaan dan keakraban diucapkan lewat partuturan. Partuturan biasanya berdasarkan hubungan darah dan perkawinan serta kekerabatan. Partuturan yang berlaku dalam masyarakat Mandailing diciptakan oleh nenek moyangnya sebagai sistem tutur sapaan yang dipergunakan dalam berinteraksi  dalam kehidupan sehari-hari orang Mandailing.
Keunikan bahasa  Mandailing terdiri tujuh (7)  macam ragam adalah:
v  Bahasa adat (ata adat) bahasa yang dipergunakan pada waktu upacara adat.
v  Untuk bahasa sehari-hari dipergunakan jenis bahasa yang dinamakan ata somal atau ata na biaso.
v  Untuk bahasa ratapan (lamentasi) dipergunakan jenis bahasa yang dinamakan ata andung, ragam bahasa ini tergolong bahasa sastra.
v  Untuk bahasa yang dipergunakan untuk pemyembuhan atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia gaib, yang dinamakan ata sibaso.
v  Untuk bahasa yang digunakan ketika berada dalam hutan, yang dinamakan ata parkapur.
v  Untuk bahasa yang digunakan ketika bertengkar berkelahi, yaitu ragam bahasa caci maki yang dinamakan ata bura dohot jampolak.
v  Untuk bahasa yang menggunakan dedaunan sebagai lambang untuk istilah-istilahnya, yang dinamakan ata bulung-bulung.

Pertuturon adalah berisi aturan hubungan antar perorangan atau unsur dalam Dalihan Na Tolu (etika bertutur), dimana tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Dengan menyebut tutur terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang menggunakan dan sekaligus menentukan prilaku atau etika apa yang pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul. Partuturon mengatur dan menentukan bagaimana seseorang bersikap, berbicara terhadap orang lain dan demikian juga sebaliknya. Dari partuturon akan diketahui sejauhmana hubungan seseorang dengan orang lain berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan atau hubungan berdasarkan perkawinan. Pada prinsipnya partuturon merupakan etika, sikap, dan tingkah laku seseorang jika berkomunikasi dengan orang lain, yang bertujuan untuk saling menghormati, semangat persaudaraan, rasa persatuan dan semakin eratnya ikatan kekeluargaan yang harmonis. (H. Pandopotan Nasution, SH, Tabloid Sinondang Mandailing 24/01/08).
Masyarakat Mandailing mempunyai gaya bicara yang khas, yaitu gaya bicara dengan lagu kalimat yang membujuk,  memikat (yang disebut gaya bicara pantis) dengan logat, aksen lemah lembut dengan suara yang halus dan sopan santun. Gaya bicara tersebut bersifat diplomatis, sering tidak langsung kepada pokok pembicaraan .
Secara kultural Pemerintah Kolonial Belanda membiarkan masyarakat setempat hidup dengan bahasa mereka sendiri, dengan kesusastraan mereka sendiri dan bahkan dengan pola interaksi mereka yang sudah ada (Edy Effendy, Membaca kembali realitas sastra pasca kolonial, Media Indonesia, 2 Juni 2007). Setelah Republik Indonesia sampai saat ini khusus Bahasa Daerah hampir di seluruh Indonesia khususnya bahasa Mandailing tersisih akibat dominasi dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Maka perlu generasi muda melestarikan Bahasa Mandailing, Tata cara/etika interaksi di masyarakat Mandailing dan kesusastraan Mandailing agar tidak punah dalam era globalisasi pada saat ini maupun akan datang.
Menurut Penulis  punahnya bahasa (tutur)  daerah berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan local yang terkandung di dalamnya.
  
Sumber Referensi:
1.  H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang
2.   Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat