Kisah dan
karakter Willem Iskandar menjadi cermin bahwa pendidikan harus dilakukan penuh
pengorbanan lahir bathin, mengutamakan budi pekerti bukan angka-angka.
Masa Willem Iskander sudah berlalu, tetapi sistem simbol perjuangannya dapat digunakan sebagai cermin, yang kemudian diresepsi generasi berikutya. Karya sastra dalam bentuk film memang sangat diperlukan. Melalui hakikat imajinatif, karya sastra mampu membawa penikmatnya pada pemahaman yang lebih lengkap. Manusia tidak cukup hanya menikmati kebutuhan praktis. Kehidupan manusia yang sempurna adalah kehidupan dengan mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani secara seimbang.
Masa Willem Iskander sudah berlalu, tetapi sistem simbol perjuangannya dapat digunakan sebagai cermin, yang kemudian diresepsi generasi berikutya. Karya sastra dalam bentuk film memang sangat diperlukan. Melalui hakikat imajinatif, karya sastra mampu membawa penikmatnya pada pemahaman yang lebih lengkap. Manusia tidak cukup hanya menikmati kebutuhan praktis. Kehidupan manusia yang sempurna adalah kehidupan dengan mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani secara seimbang.
Sebagai salah satu hasil
aktivitas kultural, karya sastra memiliki tugas penting dalam menopang
keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Sesuai dengan hakikatnya, sumbangan
karya sastra adalah membangun aspek-aspek rohaniah, membangkitkan energi yang
stagnasi sehingga keseluruhan kompanen masyarakat ikut berperanserta.
Seperti dijelaskan di atas,
peranan utama karya sastra adalah penertiban sekaligus pemberdayaan aspek-aspek
rohaniah dengan cara menampilkan kualitas etis dan estetis, isi, bentuk,
sarana, dan pesan.
Perjuangan Willem Iskandar dalam
mengutamakan pendidikan masyarakatnya (yang dikemas dalam cerita film lokal)
berjudul Senandung Willem. Hal ini sangat penting untuk memperbaiki setiap
kehidupan secara lokal-global atau teoretis- kontekstual masyarakat saat ini
dalam mengelola pendidikan menghasilkan manusia unggul.
Dalam film yang disutradarai
Askolani tersebut, tergambar salah satu usaha yang modern dalam bentuk karya
sastra mengenalkan kembali karakter Willem Iskander sebagai pejuang pendidikan.
Film seperti ini tentu dapat dideteksi secara pasti akan berpengaruh positif
terhadap masyarakat terutama kalangan pendidikan. Tetapi yang jelas film yang
merupakan bagian sastra seperti ini telah memainkan peranan jauh lebih penting
untuk merefleksi kembali keadaan pendidikan saat ini.
Kebesaran bangsa Indonesia adalah
kebesaran masa lampaunya, sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang, kerajaan
besar, monumen, tokoh sejarah, karya seni, keindahan, dan kekayaan alam ( Kutha
Ratna, Sastra dan Kultural Studies; 448). Maka Willem Iskandar adalah
tokoh pendidikan yang terkenal dari berbagai buku, terutama buku lokal yang
beredar di Mandailingnatal. Dulu kira-kira tahun 1980-an cerita tentang Willem
Iskandar ini sering didengar anak-anak usia sekolah dasar dari orang tua atau
guru mereka. Turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut sebagai warisan
budaya.
Sampai saat ini kisah Willem Iskandar
masih ada di Mandailing walaupun sederhana. Misalnya sekolah yang pernah
dibangunya dengan pemerintah Hindia Belanda sekarang berdiri megah dengan
nama SMAN 1 Panyabungan Selatan di Tanobato. Bahkan nama Willem Iskandar sering
digunakan misalnya Jalan Willem Iskandar, SMK Willem Iskandar yang berada di
pusat kota Panyabungan. Namun demikian, pengenalan tokoh Willem Iskandar
sebagai penjuang pendidikan masih memerlukan perhatian dari berbagai kalangan.
Seperti film yang dibuat pihak Tympanum Novem disutradarai Askolani. Kalau saat
ini telah ada dalam bentuk film, besok akan muncul dalam bentuk novel atau yang
lain yang lebih modern.
Berbicara tentang karakter
karakter dalam sebuah film atau cerita adalah sifat-sifat atau watak seorang
tokoh (Luxemburg). Dalam film ini, Willem Iakandar memiliki nama panggilan
Sati. Ia adalah seorang anak keturunan raja. Sati diperbolehkan mengeyam
pendidikan di kerajaan Hindia Belanda di tanah Mandailing. Dalam pergaulannya
dengan pemerintah Hindia Belanda Sati benar-benar tekun belajar. Kedewasaan
pikiran dan jiwanyapun tumbuh berkembang.
Sati selalu risau dengan keadaan
masyarakatnya saat itu. Orang tua selalu mengajak anaknya berdagang dan
berusaha membantu berkebun atau bersawah. Sementara pendidikan terabaikan. Selain
itu masyarakat memiliki kebiasaan menikahkan anaknya dalam usia muda. Saat itu
masyarakat beranggapan dengan cara yang demikian permasalahan kehidupan akan
semakin baik. Tentu didukung sulitnya mendapatkan pendidikan karena yang boleh
bersekolah di sekolah pemerintahan Hindia Belanda harus keturunan raja.
Pernah suatu ketika Sati
dipanggil kedua orang tuanya agar ia menikah dulu, jangan bersekolah terus,
nanti keburu tua. Sati dengan tegas menjawab bahwa ia masih harus melanjutkan
sekolahnya sampai merantau ke negeri lain. Ia pun pergi setelah direstui
keluarganya. Demi pendidikan untuk bangsanya, ia rela meninggalkan keluarga dan
kekasih yang sangat dicintainya.
Setelah ia menyelesaikan
pendidikannya, Sati pulang ke kampungnya. Ia meminta kepada pemerintah Hindia
Belanda agar memberikan izin dan bekerjasama mendirikan sekolah pendidikan guru
di kampungnya. Akhirnya sekolah itu berdiri dengan nama Kweekschool di tanah
“Batoe”. Sekolah ini berdiri atas kerjasama dengan masyarakat berkat semangat
gotong royong dan tentunya difasilitasi pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1863, sekolah
Kweekschool sempat menjadi bahan perdebatan di parlemen Hindia Belanda, karena
ada sebuah sekolah yang begitu baik mutunya di daerah jajahan, justru dengan
fasilitas yang amat tidak sebanding dengan sekolah di Eropa. Perdebatan itu
terutama digagas oleh tokoh parlemen, M. Husni Tamrin tahun 1871. Dan keluarlah
keputusan parelemen yakni: sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran, dan bahasa
daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.
Tahun 1874, Willem Iskander
membawa Banas Lubis, muridnya, melanjutkan sekolah ke Belanda. Banas Lubis
kemudian meninggal di Belanda dan menyebabkan beban pikiran bagi Willem
Iskandar, kesedihan mendalam. Willem sakit-sakitan dan meninggal tanggal,
8 Mei 1876. Ia kemudian dikubur di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam, yang
disebutkan sebagai halaman rumah Cristina Winter.
Berangkat dari cerita dalam film
tersebut, bila disesuaikan kondisi saat ini betapa tragisnya pendidikan kita.
Misalnya terjadinya pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, carut-marut
ujian nasional yang diduga banyak kecurangan, sertifikasi guru diduga tidak
memperbaiki kualitas, sistem perkuliahan jarak jauh asal-asalan, penyaluran
dana BOS yang tak tepat sasaran, dan lainnya. Ini semua telah terjadi di
masyarakat kita dan patut dikhawatirkan. Di saat kita memiliki semuanya tetapi
pendidikan justru mengalami permasalahan yang menunjukkan kita semakin lalai
dan tak berdaya.
Kisah dan karakter Willem
Iskandar dalam film Senandung Willem menjadi cermin bahwa pendidikan itu harus
dilakukan berdasarkan hati nurani dan keihklasan dan penuh pengorbanan lahir
bathin. Pendidikan itu harus mengutamakan budi pekerti bukan angka-angka. Dan
pendidikan itu harus berpihak kepada seluruh rakyat Indonesia bukan berpihak
kepada individu atau kelompok orang perorang untuk mengambil keuntungan
tertentu.
Semoga apa yang dipaparkan dapat
menjadikan introspeksi kita semua, terutama bagi pemangku pendidikan di pusat
dan di daerah. Bila kita ingin menjadi bangsa yang sejahtera, damai, dan
bermartabat, jalan satu-satunya harus melalui pendidikan dan melaksanakannya
secara jujur sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Semoga, amin.
Oleh
Marataon Nasution
Penulis adalah guru SMAN 1 Tambangan Dan Kelas Unggulan MTsN Panyabungan Mandailingnatal.
Penulis adalah guru SMAN 1 Tambangan Dan Kelas Unggulan MTsN Panyabungan Mandailingnatal.
Koran Waspada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat