Jumat, 05 Maret 2010

ASAL KAMPUNG TAMIANG- MANDAILING

Kampung Tamiang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1500 M, dimana telah memberi kontribusi berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Kampung Tamiang merupakan kesatuan masyarakat adat yang sangat berperan besar dalam bidang agama, sosial kultur, budaya, tradisi sehingga perlu di pertahankan
Fungsi kampung adat adalah:
v  Membantu pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan
v  Melaksanakan adat-istiadat dalam kampung adatnya.
v  Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Mandailing dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Mandailing pada khususnya berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
v  Menjaga, membina, menggali, memelihara dan memanfaatkan potensi budaya, nilai-nilai leluhur, tradisi kampung adat  untuk kesejahteraan masyarakat kampung adat tersebut.
v  Dokumentasi data kebudayaan serta memberi penerangan berbagai aspek kebudayaan.
v  Memperkokoh kehidupan sosial budaya Mandailing guna menghindari punahnya identitas masyarakat mandailing yang tengah bergelut menghadapi arus modernisasi.
Leluhur Baitang yang merupakan Bapak pelopor mendirikan Nagari kerajaan Adat Tradisional Tamiang. Arti nagari adalah kesatuan masyarakat dan wilayah tempat hidup sejak nenek moyang. Dimana batas dua nagari diatur dengan memanfaatkan batas alam seperti: sungai, bukit sebagai pemisah. Khusus pada dataran, pembagian tanah didasarkan pada orang yang lebih dulu menguasai tanah itu. Kalau Baitang adalah pendiri pemukiman yang pertama, maka tanah yang dikuasai itu menjadi tanah ulayat nagari Kerajaan Adat Tradisional Tamiang.
Arti Tamiang dalam Bahasa Hindu Bali   adalah Perisai atau Tameng. Dalam teks syair ke-13 Negara Kertagama menyebut nama Tumihang, dimana secara persamaan kata merupakan awal nama Tamiang yang ada di Mandailing, yaitu: Ibu Kampung Tamiang dan juga ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu:  Kabupaten Aceh Tamiang.
Suku Mandailing berdiam di pedalaman pantai barat Sumatra, dimana kontur alamnya merupakan kemiringan perbukitan gunung-gunung bukit barisan dengan  sedikit dataran rendah untuk persawahan dekat sungai batang gadis dan pemukiman penduduknya diapit diantara pegunungan bukit barisan, dataran rendah dan sungai batang gadis. Penghasilan alam masyarakat Mandailing berasal dari: sawah (petani), getah karet, kulit kayu manis, kopi, kelapa,  emas (baik mendulang di sungai batang gadis maupun secara menambang emas, budidaya ikan di sungai, bertanam palawija (jagung, kacang, dan lain lain).
Pada zaman Belanda, Kabupaten  Tapanuli Selatan disebut dengan Afdeeling Padangsidimpuan   yang dikepalai  oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padangsidimpuan.
Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga (3) onder afdeeling, masing-masing dikepalai oleh Conteleur yang dibantu oleh Demang, yaitu:
1.      Angkola Sipirok, berkedudukan di Padangsidimpuan .
2.      Padang Lawas, berdudukan di Sibuhuan.
3.      Mandailing dan Natal, berkedudukan di Kotanopan.
Pada masa kolonial Belanda, Kotanopan merupakan tempat kedudukan controleur Belanda dan merupakan pusat pendidikan di kawasan Mandailing Julu. Dan di Kotanopan itu lah pasukan militer belanda membangun benteng pertahanan pertama kali ketika mereka mulai menduduki Mandailing pada awal tahun 1830-an. Tapi bangunan Benteng Belanda tersebut itu sudah lama diruntuhkan dan tak ada sisinya lagi.

Dalam catatan sejarah Perang Paderi, pada tanggal 29 November tahun 1833, pasukan Belanda yang melarikan diri dari Rao meninggalkan Limau Manis menuju  kerajaaan  Adat Tradisional Lubis Tamiang Mandailing, Dimana pasukan Belanda tiba di Tamiang Mandailing pada tanggal 2 Desember 1833 (Radjab, 1964:297).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat