Senin, 22 Februari 2010

MARGA BESAR LUBIS MANDAILING

Perkataan “marga” atau clan itu asalnya  dari bahasa sanskrit, marga artinya warna. Marga itu bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan. Marga bagi masyarakat Mandailing biasanya identitas yang menunjukkan silsilah dari nenek moyang asalnya. Pada umumnya masyarakat Mandailing yang semarga tidak seibu dan sebapak merasa bersaudara kandung serta saling melindungi juga saling tolong menolong. Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungkan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing. Marga dapat dirumuskan sebagai “kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kawin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang “sama”. Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak.
Prinsip-prinsip dalam nilai-nilai leluhur kehidupan Masyarakat Mandailing, antara lain:
·         Unsur-unsur budaya Austronesia diwariskan turun-menurun dalam kebudayaan Masyarakat Mandailing, antara lain:
a.       Kebiasaan bercocok tanam. Menurut Oscar handlin ciri-ciri tradisi petani, antara lain: 1. ada ikatan pribadi dengan tanah, 2. keterikatan pada desa atau komunitas lokal, 3.pentingnya keluarga secara sentral, 4. perkawinan sebagai persiapan bagi kemakmuran ekonomis.
b.      Tradisi seni.
c.       Kebiasaan menentukan senioritas (birth order) dalam kerabatan.
d.      Sistem apical denotion, yaitu: suatu system untuk mempertahankan status sehingga berbeda dengan anggota masyarakat lainnya.
e.       Lateral expansion, yaitu status seseorang akan terkait dengan asal-usulnya pada tempat.
·         Suku Mandailing menganut patrilineal, yaitu mengkuti keturunan sebelah bapak atau orang tua lelakinya, oleh karena itu  hanya lelaki saja yang menyambung marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-nama marga atau clan nama-nama suku Mandailing, baik pria maupun wanita suku Mandailing memakai marga berasal dari nama marga bapaknya (orang tua laki). Bagi wanita suku Mandailing yang bermarga tetap memakai nama marga bapaknya (orang tua laki) dan tidak memakai marga suaminya, setelah menikah.   (Abdoellah Loebis, Marga itu Apa ?)
Orang Mandailing sebagai penganut garis keturunan patrilineal yang menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan (dalian) harapan untuk meneruskan keturunannya dikemudian hari. Dengan perkataan lain, secara filosofis orang Mandailing memandang atau memberi nilai budaya terhadap anaknya yang laki-laki ( dalian) sebagai tumpuan bagi kelestarian eksistensinya. Paralel dengan ini, dalian na tolu (DNT) adalah sistem sosialnya yang merupakan Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing dalam bereksistensi.
·         Orang  Mandailing  menganut adat eksogami marga, artinya  seorang lelaki Mandailing pantang kawin dengan perempuan dari marganya sendiri.
·         Masyarakat Mandailing juga menganut adat teknonimi, artinya menyebut atau menyapa seseorang dengan nama yang berbeda dengan nama kecil orang itu, dengan mengacu pada nama anaknya yang sulung. Berkaitan dengan perubahan status seseorang dari masa sebelumnya (lajang) dengan masa sesudah kawin dan mempunyai anak.
·         Sistem kemasyarakatan Mandailing berdasarkan senioritas yang ditentukan kelahiran (birth order) akan mempunyai kesempatan yang paling besar untuk jabatan tertinggi di lingkungan kerabat dan desa adat yang bersangkutan.
·         Menurut adat istiadat masyarakat Mandailing, apabila seseorang menikah menurut upacara adat, maka nama yang dipakainya sejak kecil diganti dengan nama gelar. Nama kecil dan atau nama gelar ini kelak dipakai oleh salah seorang dari cucunya, bukan anaknya ( H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan, 5).
·         Menurut adat istiadat lelaki atau suami dipandang lebih tinggi dan seorang istri berusaha keras menjaga harga diri suaminya, karena adat menetapkan sesudah pernikahan yang bersifat patrilokal, dimana seorang isteri menjaga harga dirinya dengan bekerja keras dalam kehidupan keluarga atau kerabat suaminya termasuk untuk kepentingan kemajuan pendidikan anak-anaknya.
·         Memiliki ciri-ciri khas identitas kebudayaan sendiri, yang membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan lain, seperti: sistem lambang, sistem bahasa, sistem nilai-nilai leluhur, kesenian, organisasi sosial, bangunan adat, musik tradisional, agama islam.
Menurut  Tulisan Abdoellah Loebis  tentang Riwajat Marga  dipetik dari Majalah Mandailing, 1920an), maka marga-marga  di kawasan masyarakat Mandailing adalah sebagai berikut :
v  Marga Asli di Mandailing Djoeloe dan Pakantan adalah :
Loebis, Nasoetion, Parindoeri, Batoe Bara, Matondang, Daoelae, Nai Moente, Nasiboean, Poeloengan.

v  Marga Asli di Mandailing Godang adalah :
Nasoetion, Loebis, Nasiboean, Harahap, Batoe bara, Mantondang (toeroenan Nasiboean), Rangkoeti, Mardia, Parindoeri, Batoe na Bolon, Poeloengan, Rambe, Mangintir, Moente, Panggabean, Tangga Ambeng, Margara.

Dalam buku Asal Oesoelnja  Bangsa Mandailing oleh Mangaradja Ihoetan (Pewarta Deli, Medan 1926) Dalam pengantarnya pada buku tiu Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun : “hanjalah kadar djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroe bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajag bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharapkan tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja”

Sumber Referensi:
1.  H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang
2.   Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat