Makam Namora Pande Bosi Nenek Moyang Marga Lubis
Photografer : Lili Mardiah Lubis, SH, SpN & Taufik Syahban Lubis, Desember 2006.
Masyarakat Mandailing mempercayai bahwa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang masyarakat Mandailing Julu yang bermarga Lubis.
Lukisan Tanduk Kerbau Namora Pande Bosi Oleh Mickey Lubis
Tanduk diatas tersebut berasal dari tanduk kerbau (horbo muring) yang dipotong pada waktu upacara adat perkawinan (horja siriaon) Namora Pande Bosi dengan Dayang Surto Alus Bonang Nabontar, putri dari Datuk Bondaro yang bermukim di Huta Nopan Padang Bolak dengan memotong kerbau yang besar tiada taranya (horbo muring). Dimana tanduk kerbau tersebut diukir sendiri oleh Namora Pande Bosi dan keris ditempanya sendiri. Ketika Namora Pande Bosi hendak kembali Hatongga berpesan kepada istrinya, apabila anak-anaknya tersebut kemudian hari ingin menemuinya, maka tanduk yang diukir serta segengam tanah tempat penanaman tali pusar mereka ditunjukkan sebagai tanda bukti atau pengenal.
Namora Pande Bosi seorang terkenal dengan keahlian pandai besi yang terkemuka dan mempunyai dua orang anak lelaki kembar yang bernama Baitang dan Langkitang. Setelah anaknya Baitang dan Langkitang sudah dewasa, mandiri dan mapan. Namora Pande Bosi sesuai adat kebiasaan leluhur dahulu kala, menyuruh Baitang dan Langkitang (keluarga beserta rombongannya) untuk membuka huta baru ke suatu tempat, di mana terdapat pertemuan (partomuan) dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan Muara Patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru yang baik.
Setelah lama mengembara akhirnya Baitang dan Langkitang ((keluarga beserta rombongannya) menemukan Muara Patontang Dan Muara Partomuan, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu di dua sungai yang bertentangan muaranya, pada Aek Batang Gadis yaitu: Aek Singengu dan Aek Singangir yang mereka namai Huta Nopan untuk mengenang tempat asal ibunda mereka. (Baitang & Langkitang).
Baitang melanjutkan perjalanannya sampai ke Hulu sesuai dengan amanat Namora Pande Bosi Partemuan dua sungai yaitu: antara Aek Batang Gadis dengan Aek Batang Pungkut kemudian mendirikan pemukiman baru dinamai Muara Partomuan (Lubis Partomuan), dimana Baitang mendirikan Pemukiman pertama yang sekarang bernama Muara Pungkut. Baitang memiliki ketangguhan atau ketangkasan yang luar biasa, karena itu digelari orang “ Lubis Singasoro atau Singa Menerkam, (karena ada peristiwa dimana sekelompok orang-orang yang sedang mendulang emas mengeroyok Baitang untuk mencelakainya, namun Baitang dapat menaklukan semuanya dan menjadikan hambanya).
Keturunan Lubis Singasoro mendiami kawasan mulai dari: Muara Partomuan sampai kerajaan Lubis Manambin, Ulu Pungkut sampai Huta Nagodang, Lumban Balian, atau Tamiang, Tor Panjomburan dan Tadangka Dolok, Tobang sampai Silugun, Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang.
Perkampungan Lubis di Mandailing mempunyai ciri-ciri yang khas, yaitu selalu dibangun di dekat dengan gunung seperti:
· Kerajaan Adat Tradisional Tamiang berada di kaki Gunung Tor Sijanggut dan dilembah sungai (aek) Batang Gadis.
· Kerajaan Adat Tradisional Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang dengan kampung-kampung menjadi wilayah terletak di kaki Gunung Kulabu dan dekat dengan aliran sungai Batang Gadis.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Baitang dan Langkitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Semua keturunan Baitang dan Langkitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing Julu terutama dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Berdasarkan Penelitian literature peradapan agama Budha/Hindu zaman dahulu, menyebutkan antara lain:
- Menurut kitab-kitab kuno agama Budha dan Hindu, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan (tempuran) dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi.
- Di Tapanuli Selatan dan Mandailing, khususnya di kawasan Padang Lawas yang merupakan lokasi puluhan monumen peninggalan masa klasik Indonesia, kata biaro lebih dikenal oleh masyarakat sebagai pengganti kata candi. Kata biaro sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Vihara yang aslinya berarti serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan-jalan. Belakangan dalam bahasa Indonesia kata itu menjadi biara atau wihara yang artinya tempat para biksu atau pendeta (Koestoro dkk, 2001). Dalam tradisi pembangunan Hindu dikenal adanya beberapa ketentuan antara lain: dengan penempatan bangunan suci di dekat air (tirtha), baik air di sungai (terutama di sekitar pertemuan/tempuran dua aliran sungai), danau atau laut. Pada kondisi dimana tidak ada obyek geografis yang mengandung air, maka harus dibuatkan kolam di halaman bangunan suci itu. Dijelaskan pula bahwa tempat lain yang baik bagi pendirian bangunan suci adalah di puncak gunung, dilereng, gunung, dalam hutan, atau di lembah (Kramrisch,1946). Kita ketahui bahwa di Pulau Jawa kebanyakan candi didirikan di dekat aliran sungai. Bahwa Candi Borobudur menempati lahan di pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Opak, dan juga Biaro/Candi Sipamutung di Padang Lawas Kabupaten Tapanuli Selatan didirikan di pertemuan Sungai Barumun dengan Sungai Batang Pane.
- Menurut pendapat penyusun tentang pesan Namora Pande Bosi kepada anaknya Baitang dan Langkitang untuk membuka kerajaan dan pemukiman baru diantara dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (tempuran), ternyata yang memakai prinsip/konsepkebudayaan peradapan yang berasal dari agama Budha yang ada di Padang Lawas, yaitu: dimana Biaro/Candi Sipamutung di Padang Lawas Kabupaten Tapanuli Selatan didirikan di antara pertemuan Sungai Barumun dengan Sungai Batang Pane
- Jadi sejarah Lubis keturunan dari Namora Pande Bosi juga memakai peradapan agama Hindu dalam menamakan gelar raja seperti Alogo dengan gelar Radja Partomoean Dan nama raja seperti Partomuan Lubis gelar Patuan Dolok.
- Menurut kitab-kitab kuno agama Budha dan Hindu pertemuan antara dua sungai lambang kesuburan Pertanian. air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, kesuburan dan kemurniannya.
Catatan tentang penggunaan sumber air kawasan Mandailing saat ini, antara lain :
Ada beberapa istilah yang diberikan pada sumber air di kawasan Mandailing, dimana sungai disebut batang; anak sungai disebut aek, atau ranting sungai disebut rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing. Pada masyarakat Mandailing, eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka berperan multifungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam upacara adat patuaekkon boru), religius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.
- Kehidupan pada zaman itu, masyarakat beragama Budha dan animisme (megalitik) hidup berdampingan dimana terjadi pertukaran budaya, adat istiadat, nilai-nilai leluhur dan pandangan hidup sebelum agama Islam masuk ke Tanah Mandailing dan Tapanuli Selatan.
Menurut Suryadinata berpendapat bahwa “ethnic” atau kelompok etnik berasal dari suatu nenek moyang yang sama (nyata atau dibayangkan) dan biasanya memiliki akar yang sama pula, walaupun tidak selamanya demikian. Terbentuknya suatu bangsa adalah sense of belonging terhadap suatu warisan sejarah yang sama dan keinginan untuk hidup bersama.
Di Mandailing semua Raja Panusunan berasal dari satu keturunan, yaitu:
· Keturunan yang bermarga Lubis di Mandailing Julu satu keturunan Namora Pande Bosi.
· Keturunan yang bermarga Nasution di Mandailing Godang satu keturunan Sutan Diaru.
Raja-Raja Panusunan bertemu dalam peradatan sebagai Raja-Raja ”Mardomu Daro”
Mandailing Julu mempunyai enam (6) Raja Panusunan, yang terdiri dari :
- Lubis Si Baitang.
Menurunkan Lubis yang menjadi Raja Panusunan di kawasan:
· Tamiang.
· Manambin.
· Pakantan.
- Lubis Si Langkitang.
Menurunkan Lubis yang menjadi Raja Panusunan di kawasan:
· Singengu.
· Sayur Maincat.
· Tambangan.
Kawasan Mandailing Julu (Hulu) berarti Kawasan Mandailing yang berada di bahagian hulu sungai Batang Gadis yang melintasi wilayah Mandailing hulu sampai ke hilir.
Tulisan tentang Namora Pande Bosi Oleh Mohammad Said dalam Buku Soetan Koemala Boelan (Flora) adalah: "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung Bhatara Lokanatha (satu dari seribu nama Dewa Siwa). Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat Jakarta . Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil menterjemahkan teksnya dalam huruf kawi sebagai berikut:
Brandes tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah: "Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, panda besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Surya telah berhasil membuat patung seorang Dewa atau Bhatara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Patung Tembaga Bhatara Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad. Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Huta Lobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Ada tiga (3) kemungkinan dapat diperkirakan mengenai zaman generasi Namora Pande Bosi dan keturunannya itu berada , yakni:
1) Generasi pada zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang bangsawan juru pandai besi yang skill dan terkemuka.
2) Generasi tahun Caka 1287 (1365 M) kerajaan di Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang tokoh terkemuka, bernama Namora Pande Bosi.
3) Generasi pada zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo/silsilah (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh keturunan Soetan Koemala Boelan Raja Panusunan Kerajaan Adat Tradisional Tamiang Mandailing.Sumber Referensi:
1. H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat