Masyarakat Mandailing secara umum termasuk dalam jenis masyarakat unilateral, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Menarik garis keturunan hanya satu pihak saja dari Bapak.
2. Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan (sub clan) atau marga.
3. Sistem perkawinannya adalah eksogami.
4. Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagi.
Persekutuan Daerah (streek) adalah apabila di dalam suatu daerah tertentu adalah terletak beberapa desa (dorp) yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus yang sejenis, masing-masing boleh dikatakan hidup berdiri sendiri, akan tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah, mempunyai harta benda dan menguasai hutan dan rimba di antara atau dikelilingi tanah-tanah yang ditanami dan tanah-tanah yang ditinggalkan oleh penduduk desa desa itu. (Prof. Dr. Soepomo, SH, 49,1996)
Syarat keanggotaan persekutuan daerah berdasarkan Hukum Territorial adalah :
· Ia harus termasuk dalam suatu kesatuan genealogi ( berdasarkan keturunan).
· Ia harus bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan hukum atau lingkungan daerah (territorial).
Persekutuan Daerah (streek) yang terjadi di Masyarakat Mandailing untuk mempertahankan diri dengan nilai-nilai leluhur satu untuk semua dan semua untuk satu, artinya kalau satu kampung persekutuan daerah diserang maka anggota-anggota persekutuan kampung ikut membantu melawan musuh yang menyerang, karena zaman dulu sering terjadi perang antar kampung atau daerah untuk memperebutkan kekuasaan, tanah , kekayaan lainnya, budak, dan lain lain.
Huta pada mulanya hanya didirikan oleh satu clan (marga saja), kemudian ada marga lain yang datang ke wilayahnya tersebut dan menjadi anggota huta. Tetapi sebagai penguasa tanah tetaplah marga yang mendirikan huta itu. Antara marga yang datang dengan marga pertama ada hubungan perkawinan yang erat. (Djaren Saragih, 73, 1996)
Prof. DR.R. Soepomo, SH mengatakan Tata Susunan Rakyat sebagai berikut: Bagian-bagian marga (clan) masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang termasuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah itu, yang mendirikan huta-huta di daerah tersebut, disebut marga asal, marga raja atau marga tanah, yaitu: marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu, sedangkan marga-marga yang kemudian masuk daerah itu, disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta adalah kurang dari pada kedudukan marga raja. Antara marga asal dan marga rakyat ada hubungan perkawinan yang erat.
Dalam Buku Soetan Koemala Boelan, dimana Putra Raja Mananti bernama Soetan Naparas I yang pindah dari Huta Dangka Dolok ke Tamiang mendirikan Huta Tamiang dan menjadi Raja Panusunan dan Rahja Tamiang I atau secara Teori Hukum adat adalah Marga Asal, Marga Raja atau Marga Tanah di Tamiang (Kerajaan Tamiang).
Sifat kepemimpinan Raja-Raja Panusunan yang memegang adat adalah memelihara jalannya hukum adat dengan semestinya, dimana Raja-Raja Panusunan adalah Ompu Ni Sakti artinya menegakkan hukum adat. Raja-Raja Adat dalam menegakkan hukum adat adalah Ia “ Harambir Namuba Sabiet, Babiat Na Muba Bolang, artinya Ia harus memperhatikan segala perubahan pada sabut kelapa dan segala perbedaan pada belang kulit harimau, maksudnya : bahwa Ia harus mengikuti segala perkembangan hukum adat.
Dimana tiap-tiap Huta (kampung) dahulu dipimpin dan dikepalai oleh Raja Pengetua Adat yang disebut Raja Huta atau biasanya disebut Raja Pamusuk dan dibantu oleh Bayo-Bayo Nagodang, Hatobangan, Kahanggi Raja, dan lain-lain.
Kumpulan huta-huta (kampung) disebutkan JANJIAN di Mandailing dimana dipimpin oleh Raja JANJIAN kemudian berubah Raja Panusunan. Raja Panusunan ini tetap menjadi Raja Pamusuk di kampungnya, hanya bertindak sebagai Raja Panusunan dari kesatuan kumpulan beberapa Huta (kampung). Kampungnya Raja Panusunan disebut Ibu/Induk Kampung dan kampung lainnya yang menjadi bagian kekuasaannya disebut kampung. Kerajaan Tamiang secara teori Hukum Adat masuk jenis persekutuan daerah (streek).
Menurut Haji Tamanah Lubis, SH pada masa Raja Tamiang ke-7 Gelar Sutan Alogo Panusunan bahwa Sutan Panusunan mempunyai prestasi kepemimpinan yang besar, dimana Ia berhasil menyatukan 15 Kampung (Huta) dan Tamiang menjadi Ibu Kampung dan Raja Panusunan (1849-1875). Persekutuan daerah (streek) atau kampung-kampung/huta-huta yang termasuk ke dalam wilayah kesatuan dari Kerajaan Adat Tradisional Tamiang pada waktu itu adalah:
Wilayah Kerajaan Tamiang antara lain: berbatasan dengan Muara Sipongi, Pakantan, sebelah Bukit Barisan berbatasan dengan Padang Lawas, Manambin termasuk Huta Na Godang.
Pada masa Radja Tamiang ke-8 Gelar Patoean Dolok Ke-2 berprestasi mendirikan Bagas Godang Tamiang yang pertama (1875-1903).
Dalam lembaga pemerintahan tersebut duduk tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dengan dikepalai oleh seorang yang berstatus Raja Panusunan atau Raja Pamasuk. Raja Panusunan merupakan kepada pemerintahan di huta induk, sedangkan Raja Pamusuk merupakan Kepala Pemerintahan di huta yang merupakan pengembangan dari suatu huta induk. Satu huta induk dengan sejumlah huta yang merupakan "anak" atau pengembangannya berada dalam satu ikatan adat yang dinamakan JANJIAN. Tapi masing-masing huta menjalankan pemerintahan secara otonom. Dan pemerintahan dijalan secara demokratis dalam arti segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dalam suatu huta hanya dapat dilaksanakan setelah disetujui berdasarkan mufakat oleh para tokoh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan secara representatif dari penduduk huta. Dan raja sebagai kepala pemerintahan tidak punya wewenang atau otoritas untuk berbuat sesuka hati dalam hal pemerintahan tanpa persetujuan dari para tokoh Namora Natoras.
Sidang-sidang untuk urusan pemerintahan, urusan sosial dan pengadilan di satu Huta diselenggarakan di Balai Adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang yang bangunannya terletak berdekatan dengan istana Raja yang dinamakan Sopo Sio Dalom Magodang atau Bagas Godang. Adanya bangunan istana raja atau Bagas Godang dan bangunan Sopo Godang di satu tempat pemukiman, menandakan bahwa tempat pemukiman itu merupakan satu Huta atau Banua yang berstatus sebagai kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.
Sumber Referensi:
Sumber Referensi:
1. H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang Kezaliman Belanda Masa 1912-1932, UI Press.
2. Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas partisipasi dalam pelestarian adat-istiadat